Sebagai cerpen, pentigraf juga memiliki ciri-ciri narasi yaitu: a. ada alur (dalam alur ada konflik), b. ada tokoh yang menggerakkan alur, c. ada topik, persoalan yang dialami tokoh, d. ada latar (entah waktu, ruang, keadaan), entah latar fisik maupun latar rohani, d. selalu ada kejutan yang tak bisa diduga pembaca.
Proses kreatif Ide bisa diperoleh dari mana saja, terlebih dari pengalaman pribadi. Ide tersebut tidak dituangkan mentah-mentah seperti curahan hati atau menulis berita. Ide dikelola menjadi sebuah cerita baru yang menarik dalam kemasan dan bahasanya.
Pentigraf boleh diawali dengan memunculkan konflik atau solusi atau pengenalan karakter tokoh. Endingnya pun beraneka macam. Ada yang membahagiakan, ada yang menyedihkan, ada pula yang twist atau memberikan kejutan.
Menurut Dr. Tengsoe, paragraf jangan terlalu panjang dan jangan terlalu banyak percakapan. Dalam paragraf maksimal hanya satu kalimat langsung.
Panjang pentigraf sekitar 210 kata. Kalimat langsung pada paragraf kedua cukup satu saja. Intinya, jangan panjang-panjang, ringkas saja. Yang perlu diperhatikan dalam menulis pentigraf adalah keringkasan.
Anda mungkin bisa berpanjang-panjang kata untuk menyampaikan sebuah cerita. Namun, dalam flash fiction termasuk pentigraf Anda mencoba meringkas sebuah cerita ke dalam sebuah kotak kecil yang imut dan menarik hati. Ibarat Anda harus menuturkan sebuah kejadian ketika pulsa telepon Anda tinggal beberapa rupiah saja. Struktur sebuah pentigraf adalah permulaan, tengah, dan penutup.
Setiap bagian ini isilah dengan pembeda. Kisah harus terus bergerak maju lengkap dengan konfilk dan resolusi. Paragraf ketiga berupa resolusi atau kesimpulan. Ada twist di akhir kisah. Ini bumbu rahasia Anda. Di paragraf terakhir buatlah kesimpulan yang menarik dan berkesan sehingga mudah diingat oleh pembaca. Ada twist atau kejutan di akhir kisah, inilah bumbu rahasia Anda. Ada kejutan yang tidak terduga. Hal ini bisa membuat orang ingin membaca lagi dari awal.
Contoh Pentigraf
TAK ADA SINYAL Karya: Jenny Seputro
Malam ini gerimis kembali turun rintik-rintik. Tidak lama sebelum berubah menjadi hujan yang cukup deras. Aku duduk di teras gubuk kecilku sambil menyesap secangkir kopi panas. Kutatap gundukan-gundukan tanah yang terbentang di hadapanku, dengan batu-batu nisannya yang beraneka rupa. Di sebelahku, Suwiro duduk mengangkang sambil memainkan ponselnya. Katanya itu posisi wenaknya. Kami berdua sudah sama-sama tua. Usiaku tujuh puluh empat, dan Suwiro tujuh puluh dua. Sudah puluhan tahun kami berdua menjadi penjaga makam. Tepatnya sejak kami menjadi duda kesepian setelah anak-anak semua berkeluarga.
Kelihatannya pekerjaan ini membosankan. Setiap hari mengurusi mereka yang sudah berpulang. Mendengar ratap tangis keluarga yang ditinggalkan, atau terkadang justru tawa canda sanak saudara yang sudah lama tidak kumpul-kumpul.
Tapi bersama Suwiro selalu ada yang menarik untuk dibahas, ditertawakan, digosipkan. Seperti kami selalu merasa lucu kalau orang memasukkan ponsel mainan ke dalam peti jenazah. Mungkin sebagai lambang agar komunikasi tidak terputus, aku tidak pernah paham. Mana ada sinyal di dalam situ?
Kuhirup lagi kopi di tanganku yang sekarang hanya hangat-hangat kuku. Suwiro masih senyum-senyum menatap ponselnya. Aku tahu dia jarang berinteraksi dengan orang-orang dunia maya. Biasanya dia hanya menatapi foto-foto keempat anak dan kedua cucunya.
Mereka yang sangat disayanginya, tapi nyaris tidak pernah datang menjenguknya. Sering aku sengaja menyindirnya, sudah tua masih genit. Apalagi hujan-hujan begini, salah-salah nanti tersambar petir. Kali ini dia membalas dengan seloroh kami biasanya, kalau di bawah sana tidak ada sinyal. Aku tertawa, hingga tawaku berubah menjadi tangis yang tak tertahankan. Air mata mengalir di pipiku, bersama percikan hujan yang menerpa wajahku. Bayangan Suwiro pun memudar, hilang bersama angin. Kurasa aku belum mampu menerima kepergiannya, ketika penyakit jantung merenggutnya tiga hari yang lalu.